Indonesia adalah Negara Hukum sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dengan berdasarkan Pacansila. Pada prinsipnya Hukum harus di tegakkan di semua wilayah Indonesia termasuk di dalam institusi Pemerintahan bahkan untuk semua kalangan. Awal Pemerintahan periode yang baru dalam Kabinet Indonesia bersatu jilid II Tahun 2009, Dunia Hukum di Indonesia mengalami goncangan yang sangat memalukan dengan terjadinya Kekisruan di tubuh institusi Negara antara Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca di tahannya dua pimpinan KPK Non Aktif Chandra Hamzah Bibit Samad Rianto yang keduanya menjabat sebagai Wakil Ketua KPK. Berawal dari testimoni yang di keluarkan oleh Ketua KPK Non Aktif Antazari Azhar kemudian berimbas pada Kasus yang menyeret kedua mantan pimpinan KPK itu ke MABES POLRI yang masih belum jelas apa yang di tuduhkan kepada mereka (Bibit dan Chandra) sebab POLRI sendiri pun awalnya menjadikan Bibit dan Chandra sebagai tersangka kasus pemerasan kemudian berubah menjadi kasus penyalahgunaan wewenang yang kemudian membuat berang POLRI akibat pernyataan dan opini dari kedua tersangka dalam beberapa jumpa pers dan oleh Kepolisian hal itu di anggap sebagai penggiringan opini public yang menyudutkan POLRI sampai muncullah istilah “Cicak” (KPK) dan “Buaya” (POLRI) yang di ungkapkan oleh KABARESKRIM POLRI Susno Duadji yang saat ini telah di Non Aktifkan. Bahkan ada pernyataan-peryataan dari beberapa pengamat hukum bahwa hal ini disebabkan oleh factor kecemburuan kekuasaan.
Masalah yang terjadi akibat dari Kekisruan antara dua lembaga Negara ini, adalah citra dari Lembaga-lembaga penegak hukum di Indonesia termasuk Kejakasaan dan Pengadilan di pertaruhkan sebab melihat gejolak yang terjadi pada masyarakat yang sudah membuat kubu-kubuan baik dari pihak KPK maupun pihak POLRI yang oleh masing-masing pihak mengklaim kubunya yang paling benar. Sebab kedua-duanya merasa mempunyai kekuatan Hukum dimana KPK memiliki dasar hukum yang jelas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seperti di atur dalam Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi demikian juga halya dengan Kepolisian yang sesuai dengan KUHAP mempunyai wewenang sebagai Penyidik Namun hal itu dibantah oleh Pihak Kepolisian yang mempersoalkan penafsiran kalimat yang ada pada Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang bunyinya: Pimpinan Komisi Peberantasan Korupsi bekerja secara kolektif
Yang di maksud oleh Kepolisian seperti yang di ungkapkan oleh KAPOLRI Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri pada konfrensi Pers di Mabes Polri bahwa Pimpinan KPK harus bekerja bersama-sama artinya dari lima Pimpinan KPK tidak boleh mengambil keputusan secara tidak bersama-sama.Persoalan lain yang terjadi juga adalah ketika POLRI menahan kedua tersangka Pimpinan KPK Non Aktif Bibit dan Chandra dimana menurut pihak yang menamakan diri pro KPK menganggap hal itu terlalu mengada-ada.
Dari segi perpekstif Hukum menurut saya kedua Lembaga Negara ini sama mempunyai dasar hukum yang jelas. Sebab disatu sisi Kepolisian sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 21 ayat (1) dimana Polisi punya Wewenang untuk menahan seorang yang sudah dijadikan tersangka namun disis lain juga penahanan kepada kedua tersangka cenderung bersifat “abu-abu” artinya tidak jelas sebab sangkaan yang di tujuhkan kepada kedua tersangka masih belum pasti apakah pemerasan atau penyalahgunaan wewenang?? Kemudian Penafsiran POLRI tentang kalimat dalam Pasal 21 ayat (5) Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut saya itu keliru, sebab bekerja bersama-sama bukan berarti dalam pengambilan keputusan juga harus bersama-sama, sebab jika penafsiran seperti yang di utaran oleh Kapolri JEnderal Pol Bambang Hendarso Danuri di benarkan maka semua Pimpinan KPK mulai dari periode perta sejak KPK di bentuk harus di tahan sebab mereka pun melakukan hal seperti yang di lakukan oleh Pimpinan KPK dalam hal ini Chandra dan Bibit. Persoalan ini harus segera di atasi baik oleh kedua lembaga ini sendiri sambil berkoordinasi dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara demi stabilitas Penegakan Hukum dan stabilitas keamanan di Negara ini .Namun apapun yang terjadi, dasar untuk penyelesaian segala perkara yang terjadi di Negara ini adalah Hukum sebab Indonesia adalah Negara hukum bukan Negara Rimba yang berasaskan homo homini lupus (manusia menjadi serigala terhadap manusia lain). Jangan sampai masalah ini menjadi bumerang bagi masyarakat Indonesia yang mengarah kepada ketidakpercayaan masyarakat bagi lembaga penegak hukum sehingga dapat membawa krisis kepercayaan atas legitimasi Lembaga Penegak hukum dan Para Penegak Hukum itu sendiri oleh masyarakat Indonesia.
Oleh Hanry Liunsanda (Mahasiswa Program Study Ilmu Hukum Unima Angkatan 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar